BAB I
KAJIAN KASUS
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum.
1. B. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. C. MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
1) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
3) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan:
4) Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
5) Pasal 348 KUHP menyatakan:
6) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
7) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
8) Pasal 349 KUHP menyatakan:
9) Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
10) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
11) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
12) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
13) pidana penjara paling lama lima tahun.
14) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
15) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
1. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
1) Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2) Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
1. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
1) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
2) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
1. Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
5. Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
1. D. LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
1. Syarat Praktik Profesional Bidan
1. Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2. Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5. Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
1. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi :
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 15 :
(1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak
(2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin , masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)
(3) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
Pasal 16 :
(1) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
e. Pertolongan persalinan normal
f. Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
g. Pelayanan ibu nifas normal
h. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
i. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
(2) Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemantauan tumbuh kembang anak
f. Pemberian imunisasi
g. Pemberian penyuluhan
Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
a. Memberikan imunisasi
b. Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
c. Mengeluarkan plasenta secara secara manual
d. Bimbingan senam hamil
e. Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
f. Episiotomi
g. Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
h. Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
i. Pemberian infuse
j. Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
k. Kompresi bimanual
l. Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m. Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
n. Pengendalian anemi
o. Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p. Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
q. Penanganan hipotermi
r. Pemberian minum dengan sonde/pipet
s. Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
t. Pemberian surat kelahiran dan kematian.
1. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi :
1. Undang-Undang
UU Kesehatan No. 23 Th 1992
pasal 15
ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
1. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
2. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
3. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
4. pada sarana kesehatan tertentu.
pasal 80
ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. E. PEMBAHASAN KASUS
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga kesehatan seprti dokter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PENUTUP
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupa¬kan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malapraktek bidan di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
1. Sedangkan altematif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malapraktek dijuimpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan altematif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malapraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
http://bidankita.com/?p=210
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/malpraktek-bidan
makalah isu moral
Posted: Januari 13, 2010 in makalah
Kaitkata:aborsi, bayi tabung, contoh kasus, hukum dan aborsi, isu moral
1
BAB I
PENDAHULUAN
Perlu disadari bahwa di dalam pelayanan kebidanan seringkali muncul masalah atau isu di masyarakat yang berkaitan dengan etik dan moral, dilema serta konflik yang dihadapi bidan sebagai praktisi kebidanan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid 3, Isu adalah gosip atau kabar yang belum pasti, bukan merupakan kenyataan dan lebih kearah negatif. Sedangkan moral adalah nilai-nilai keagungan makhluk Tuhan yaitu manusia, yang menjadikan manusia itu memiliki budi pekerti mulia, namun dalam hal ini moral dapat pula menjadikan manusia minus.
Di dalam pelayanan kebidanan terdapat Isu Moral. Isu Moral merupakan topik yang penting berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan orang sehari-hari menyangkut kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi kehamilan. Isu Moral juga berhubungan dengan kejadian yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari, seperti menyangkut konflik, malpraktik, perang dsb.
Adapun beberapa contoh mengenai isu moral dalam pelayanan kebidanan adalah berhubungan dengan :
1. Agama / kepercayaan
2. Hubungan dengan pasien
3. Hubungan antar petugas kesehatan
4. Kebenaran
5. Pengambilan keputusan
6. Pengambilan data
7. Kematian
8. Kerahasiaan
9. Aborsi
10. AIDS
11. In-Vitro Fertilization
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISU MORAL ABORSI
1. ABORSI
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :
1. Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2. Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi.
3. Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
1. 2. ALASAN ABORSI
Aborsi dilakukan oleh seorang wanita hamil baik yang telah menikah maupun yang belum menikah dengan berbagai alasan. Akan tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan yang non-medis (termasuk jenis aborsi buatan / sengaja)
Di Amerika, alasan-alasan dilakukannya aborsi adalah:
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir mengganggu karir, sekolah atau
tanggung jawab lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.meyakinkan diri bahwa membunuh janin yang di dalam kandungan adalah boleh dan benar. Semua alasan ini tidak mendasar, sebaliknya hanya menunjukkan ketidakpedulian seorang wanita yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri – termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu atau gengsi.
1. HUKUM DAN ABORSI
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”
Yang menerima hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
Beberapa pasal yang terkait adalah:
Pasal299
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal342
Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal343
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
Pasal346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal347
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pasal348
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal349
Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
UU Kesehatan No.23 Tahun 1992
Pasal 15:
1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan:
3. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
4. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi erta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
5. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
6. Pada sarana kesehatan tertentu.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 80:
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (92), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (liam belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. CONTOH KASUS
Terkait Kasus Aborsi di Sentosa Lama, Dr dan Bidan Ditahan Poltabes Medan
Posted in Kriminal by Redaksi on Desember 15th, 2009
Medan (SIB)
Terkait kasus dugaan melakukan aborsi di salah satu rumah yang diduga dijadikan sebagai tempat praktek aborsi di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama yang digerebek anggota Reskrim Poltabes Medan, Sabtu (12/12) lalu, dua orang telah dijadikan tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan. Kedua tersangka yakni Dr J dan Bidan M.
Kasat Reskrim Kompol Gidion Arif Setyawan SIK dan Kanit VC Poltabes Medan AKP Ronny Nicolas Sidabutar SIK saat dikonfirmasi SIB, Senin (14/12) membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan Dr J dan Bidan M sebagai tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan guna pengusutan lebih lanjut.
Untuk biaya aborsi, R dikenakan biaya Rp 2 juta oleh tersangka. Diduga, R melakukan aborsi atas kemauan dirinya sendiri.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penggerebekan itu berawal dari adanya laporan masyarakat yang menyebutkan bahwa satu rumah di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama kerap kali dijadikan tempat praktek aborsi.
Kemudian anggota Unit VC Reskrim Poltabes Medan melakukan penyelidikan di lapangan sekaligus menggerebek rumah tersebut. Dr J dan Bidan M yang diduga sebagai pelaku aborsi tersebut selanjutnya diboyong ke Mapoltabes Medan untuk diperiksa. (M16/y)
1. SOLUSI
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992, dijelaskan bahwa tindakan medis dalam bentuk apapun dan atau pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.
Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum melakukan tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum, dan psikologi.
Jadi, pada kasus aborsi di atas, pelaku (bidan) ditindak oleh kepolisian dan dijerat KUHP Bab XIX Pasal 299, 348 dan 349 serta UU Kesehatan No.23 tahun 1992 Pasal 80 ayat 1. Dan bidan tersebut dicabut ijin praktiknya. Sedangkan korban dijerat KUHP pasal 346.
B. ISU MORAL BAYI TABUNG
1. BAYI TABUNG
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.
Status bayi tabung ada 3 macam:
1. Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2. Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3. Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari.
1. DASAR HUKUM
Dasar hukum pelaksanaan bayi tabung di Indonesia adalah Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992.
1. Pasal 16 ayat 1 Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapatkan keturunan.
2. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkuta, ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum berasal.
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
3) Pada sarana kesehatan tertentu. Pelaksanaan upaya kehamilan diluar cara alami harus dilakukan sesuai norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.
1. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan dari Pasal 16 tersebut jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami istri yang sah benar-benar tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, pasangan suami istri tersebut dapat melakukan kehamilan diluar cara alami sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Pelaksanaan upaya kehamilan diluar cara alami harus dilakukan sesuai dengan norma hokum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Apabila dokter melakukan inseminasi buatan dengan donor bukan suami adalah tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara atau denda.
Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.
Status anak yang dilahirkan tidak dalam ikatan perkawinan adalah anak diluar nikah. Anak diluar nikah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu. Sedangkan anak yang lahir dari sewa rahim, terdapat 2 keadaan sebagai berikut :
1. Ovum dari pemesan, sperma dari pemesan.
2. Ovum pemesan, sperma suami.
Apabila sperma dari pemesan disebut Surrogate Mother. Setelah anak dilahirkan maka anak adalah anak sah si ibu dan suaminya. Peralihan status anak dengan adopsi.
1. CONTOH KASUS
Meski tidak memiliki suami, Nadya dengan yakin menyediakan rahimnya untuk menampung benih dari seorang lelaki. Layaknya inseminasi pada sapi, Nadya pun akhirnya berhasil melahirkan anak-anaknya. Terakhir, ia melahirkan 8 anak kembar melalui bantuan beberapa orang dokter di sebuah klinik di Amerika Serikat. Sebelumnya, ia juga sudah melahirkan 6 orang anak dengan proses yang sama.
Kini, setelah memiliki 14 anak, tanpa suami sah yang bertanggung jawab atas nafkah anak-anak itu, Nadya pun kelimpungan. Ia kini membuka situs donasi, www.thenadyasulemanfamily.com, untuk mengetuk hati para dermawan yang bersedia merogoh kocek untuk membantu biaya hidup Nadya dan pemeliharaan anak-anaknya.
Setelah merasa tidak bisa melahirkan secara normal, Nadya memulai menghubungi klinik kesuburan. Ia berkonsultasi dengan dr. Michael M. Kamrava di klinik kesuburan West Coast. Sang dokter bersedia membantunya untuk memperoleh anak dengan proses bayi tabung (in vitro fertilization). Nadya pun menyerahkan sperma dari seorang donor yang ia klaim bernama “David Salomon”. Pada tahun 2001, sekitar setahun setelah berpisah dengan sang suami, Nadya melahirkan bayi tabung pertamanya. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu ia beri nama Elijah Makai Solomon yang kini berusia tujuh tahun.
Sukses melahirkan bayi pertamanya melahirkan proses bayi tabung, Nadya pun ketagihan untuk melakukan hal itu kembali. Hampir setiap tahun, ia melahirkan anak melalui proses bayi tabung. Pada tahun 2002, ia kembali melahirkan bayi tabung berjenis kelamin perempuan yang ia beri nama Amerah Yasmeen Solomon (6 th). Setahun berikutnya, ia melahirkan bayi laki-laki yang ia namakan Joshua Jacob Solomon (5 th). Dua tahun selanjutnya, ia melahirkan Aiden Solomon (3 th), seorang bayi laki-laki. Setahun berikutnya, ia melahirkan bayi kembar dua; satu perempuan bernama Calyssa Arielle Solomon (2 th), dan satu lagi laki-laki bernama Caleb Kai Solomon (2 th).
Meski sudah memiliki enam orang anak, Nadya tak jua berpuas diri. Ia kembali membujuk dr. Kamrava untuk membantu dirinya memperoleh bayi tabung lagi. Sang dokter akhirnya mengizinkan Nadya untuk menerima enam embrio, sisa dari proses bayi tabung sebelumnya. Padahal dalam anjuran yang direkomendasikan di dunia kedokteran Amerika Serikat, embrio yang ditanamkan ke rahim seorang ibu yang berusia di bawah 35 tahun adalah maksimal dua saja. Sedangkan menurut Robert George, Profesor di Universitas Princeton dan anggota Dewan Presiden Bioetika Amerika Serikat, di Italia dan Jerman, jumlah maksimal embrio adalah tiga.
Namun yang paling spektakuler dan membuat heboh seluruh dunia adalah proses persalinan Nadya yang terakhir, tanggal 26 Januari 2009 silam. Saking repotnya, persalinan itu harus dibantu 46 tenaga medis dan melalui bedah Caesar. Perempuan yang kini pengangguran itu pun akhirnya melahirkan anak kembar delapan (octuplet) di Rumah Sakit Kaiser Permanente, Bellflower, California. Semula tim medis memprediksi jumlah bayi adalah enam sesuai jumlah embrio yang ditanamkan. Ternyata dua embrio terbelah jadi dua. Akhirnya, jumlah bayi pun menjadi delapan yang terdiri dari 2 orang perempuan, dan 6 laki-laki. Kini, foto kedelapan anak kembar Nadya terpampang luas di berbagai situs internet, menyaingi foto hot Elizabeth Wong, politikus wanita dari negeri jiran, Malaysia.
Besarnya biaya proses persalinan Nadya, membuat pihak rumah sakit harus meminta bantuan pihak lain. Diperkirakan biaya itu mencapai ratusan ribu dolar. Di satu sisi, Nadya yang pengangguran, tentu saja tidak mampu menutupi biaya tersebut. Apalagi ia sendiri masih memiliki hutang sebesar 50.000 dollar dalam bentuk pinjaman mahasiswa. Akhirnya, pihak rumah sakit pun mengajukan permohonan pembiayaan melalui, Medi-Cal, program perawatan kesehatan pemerintah bagi orang miskin.
Menurut cerita sang ibu, Angela Suleman, Nadya memang sudah terobsesi untuk memiliki anak sejak ia remaja. Obsesinya itu tersendat ketika ia mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Dokternya juga memvonis ia sulit memiliki anak secara normal karena pembuluh telur ke rahimnya tersumbat. Karena itulah, Nadya pun menjalani program bayi tabung.
Meski sebelumnya sudah memiliki anak dari proses bayi tabung, Nadya tetap saja ingin menambah anaknya lagi. Di sisi lain, Nadya yang sudah tidak lagi bekerja tentu saja merepotkan sang ibu, Angela Suleman. Saat pertama menumpang di rumah ibunya, Nadya berjanji akan membiayai urusan rumah tangganya dan berbagai tagihan. Namun janji itu tinggal janji. Nadya hanya bergantung pada bantuan biaya dari Dinas Sosial yang berbentuk kupon makanan. Karena itulah, saking stresnya atas tingkah polah sang anak, Angela sempat berkonsultasi dengan seorang psikiater. Saran sang psikiater, Nadya harus meninggalkan rumah sang ibunda. Meski demikian, sang ibunda tetap tidak tega mengusir sang anak beserta cucu-cucunya itu.
Kini, Nadya beserta ke-14 anak-anaknya tinggal di rumah keluarga di Whitter, sekitar 15 mil di sebelah timur pusat kota Los Angeles. Ia dibantu oleh sang ibu, Angela Suleman dalam merawat anak-anaknya. Salah satu anaknya yang berusia 3 tahun, menderita autis, sehingga perawatannya dibantu oleh orang lain bernama Yolanda Garcia (49).
1. SOLUSI
Kasus Nadya Suleman tak pelak memicu timbulnya kontroversi di tengah masyarakat. Betapa tidak, ia melahirkan anak melalui proses bayi tabung yang melebihi batas kewajaran. 14 orang anak! Hebatnya, Nadya sendiri tidak terikat oleh pernikahan. Ia tidak berniat menikah meski sebelumnya pernah menikah. Ia menolak saran sang ibu yang memintanya untuk menikah. Tak ayal, ia pun sempat mendapat kiriman surat-surat yang berisi ancaman pembunuhan. Khawatir akan keselamatan dirinya, ia sempat menghilang dari publik.
Menurut M. Sara Rosenthal, ahli bioetika di Universitas Kentucky College of Medicine, setiap orang yang mengajukan permohonan bayi tabung di klinik fertilitas, pasti diberitahu, ada konsensus dari setiap ahli dan spesialis yang menyatakan bahwa menanam embrio dalam jumlah banyak dianggap sebagai tindakan tidak bertanggung jawab dan tidak etis. “Ini merupakan kejadian yang memalukan dan seharusnya tidak terjadi,” tegas Rosenthal. Di sisi lain, persalinan bayi kembar dalam jumlah banyak mengandung resiko, baik bagi sang bayi maupun sang ibu. Resiko bisa berwujud pendarahan di otak sang bayi, gangguan pencernaan gangguan mental, dan cacat fisik.
Melihat sepak terjang Nadya Suleman, banyak pihak menuding ia hanya sekedar memanfaatkan anak-anaknya itu untuk kepentingan pribadinya. Sebagaimana diketahui, ia kini seorang pengangguran. Padahal ia adalah seorang terdidik dan berpendidikan tertinggi serta pernah bekerja. Dengan latar belakang pengalaman dan pendidikannya yang tinggi, besar kemungkinan ia dengan mudah memperoleh pekerjaan kembali. Tapi, ia justru memilih menganggur dan “beternak” anak. Ketika anaknya sudah lebih dari selusin, ia pun menadahkan tangan dari belas kasihan orang lain untuk membiayai perawatan anak-anaknya. Selama ini, ia memperoleh santunan 5.000 dollar yang berbentuk kupon makanan setiap bulan dari dinas sosial untuk membiayai anak-anaknya, termasuk tiga orang anaknya yang cacat. Angka itu berarti setara dengan 5 juta rupiah jika kurs 1 dollar adalah 10 ribu rupiah. Sungguh, tidak elok!
Nama dan paras Nadya Suleman menunjukkan bahwa ia bukan orang kulit putih seperti mayoritas warga Amerika Serikat. Meski namanya berbau Arab, Nadya Suleman tidak diketahui jelas agamanya. Yang jelas, ayahnya berasal dari Irak, sebuah negara Arab yang mayoritas beragama Islam. Dalam Islam sendiri, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Seorang anak harus lahir dari seorang ibu yang terikat dalam sebuah pernikahan yang sah. Kalaupun toh lahir ketika si ibu telah menjadi janda, perempuan itu telah dibuahi oleh mantan suaminya yang saat itu masih sah sebagai suaminya dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah. Tentu saja, dalam hal ini, kasus Nabi Isa (Yesus) termasuk dalam pengecualian.
Terkait dengan proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung. Hal itu karena memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan perzinaan.
Di Indonesia sendiri, belum lama ini juga sempat diramaikan tentang kasus penyewaan rahim oleh Zarima, seorang mantan artis dan atlet bulutangkis. Perempuan, yang pernah dijuluki Ratu Ekstasi karena tertangkap dalam kasus pengedaran ekstasi dalam jumlah sangat besar itu, disebutkan menyewakan rahimnya demi proses bayi tabung atas pesanan pasangan suami istri, Edi dan Nita, penguasaha kaya raya asal Surabaya. Atas “usaha” penyewaan rahimnya itu, Zarima disebutkan memperoleh imbalan uang tunai sebesar Rp 50 juta ditambah sebuah mobil Honda Stream berwarna biru. Sang bayi hasil bayi tabung itu sendiri telah lahir di RS Siloam Surabaya pada Oktober 2008 silam. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu kemudian diberi nama Yusuf. Kasus ini mencuat ke publik setelah diungkapkan oleh Ferry Juan, mantan suami Zarima, menyusul kisruh perebutan anak hasil pernikahan sirri mereka yang bernama Nikita.
Kasus bayi tabung Nadya Suleman dan begitu pula Zarima, merupakan sebuah tindakan yang mengobrak-abrik institusi pernikahan dan hubungan keluarga yang ditimbulkan oleh pernikahan. Adanya pernikahan yang sah menimbulkan hubungan keluarga yang sah antara anak, ayah, ibu, suami, istri, dan lain-lain. Namun ketika kelahiran seorang anak tidak diketahui dengan jelas orang tuanya, karena tidak ada lembaga pernikahan yang memayunginya, maka hal itu akan menyulitkan untuk menentukan status hukum anak. Padahal Islam sebagai agama yang dianut Zarima sangat memperhatikan hubungan keluarga yang jelas (nasab). Hal itu karena hubungan keluarga menentukan pula hak waris.
Sejak sukses pertama dilakukan pada tahun 1978, bayi tabung merupakan teknologi kedokteran yang bisa digunakan oleh pasangan yang sulit memperoleh keturunan. Sayang sekali, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi absen dari tata nilai dan moralitas, maka ia pun menghasilkan hal-hal yang justru berpotensi menimbulkan dehumanisasi. Salah satu buahnya adalah teknologi bayi tabung yang dilakukan terhadap Nadya Suleman. Layaknya binatang, Nadya tak memerlukan seorang suami dalam ikatan pernikahan untuk memperoleh anak. Ia ‘hanya’ memerlukan benih pejantan untuk membuahi rahimnya.
BAB III
PENUTUP
Pada makalah ini dibahas 2 isu moral yakni mengenai aborsi dan bayi tabung.
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :
1) Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2) Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi.
3) Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”.
Yang menerima hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
Isu moral yang kedua adalah mengenai bayi tabung. Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.
Status bayi tabung ada 3 macam:
a) Inseminasi buatan dengan sperma suami.
b) Inseminasi buatan dengan sperma donor.
c) Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari.
KAJIAN KASUS
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum.
1. B. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. C. MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
1) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
3) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan:
4) Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
5) Pasal 348 KUHP menyatakan:
6) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
7) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
8) Pasal 349 KUHP menyatakan:
9) Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
10) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
11) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
12) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
13) pidana penjara paling lama lima tahun.
14) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
15) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
1. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
1) Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2) Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
1. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
1) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
2) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
1. Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
5. Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
1. D. LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
1. Syarat Praktik Profesional Bidan
1. Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2. Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5. Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
1. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi :
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 15 :
(1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak
(2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin , masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)
(3) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
Pasal 16 :
(1) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
e. Pertolongan persalinan normal
f. Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
g. Pelayanan ibu nifas normal
h. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
i. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
(2) Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemantauan tumbuh kembang anak
f. Pemberian imunisasi
g. Pemberian penyuluhan
Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
a. Memberikan imunisasi
b. Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
c. Mengeluarkan plasenta secara secara manual
d. Bimbingan senam hamil
e. Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
f. Episiotomi
g. Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
h. Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
i. Pemberian infuse
j. Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
k. Kompresi bimanual
l. Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m. Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
n. Pengendalian anemi
o. Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p. Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
q. Penanganan hipotermi
r. Pemberian minum dengan sonde/pipet
s. Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
t. Pemberian surat kelahiran dan kematian.
1. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi :
1. Undang-Undang
UU Kesehatan No. 23 Th 1992
pasal 15
ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
1. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
2. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
3. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
4. pada sarana kesehatan tertentu.
pasal 80
ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. E. PEMBAHASAN KASUS
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga kesehatan seprti dokter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PENUTUP
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupa¬kan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malapraktek bidan di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
1. Sedangkan altematif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malapraktek dijuimpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan altematif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malapraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
http://bidankita.com/?p=210
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/malpraktek-bidan
makalah isu moral
Posted: Januari 13, 2010 in makalah
Kaitkata:aborsi, bayi tabung, contoh kasus, hukum dan aborsi, isu moral
1
BAB I
PENDAHULUAN
Perlu disadari bahwa di dalam pelayanan kebidanan seringkali muncul masalah atau isu di masyarakat yang berkaitan dengan etik dan moral, dilema serta konflik yang dihadapi bidan sebagai praktisi kebidanan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid 3, Isu adalah gosip atau kabar yang belum pasti, bukan merupakan kenyataan dan lebih kearah negatif. Sedangkan moral adalah nilai-nilai keagungan makhluk Tuhan yaitu manusia, yang menjadikan manusia itu memiliki budi pekerti mulia, namun dalam hal ini moral dapat pula menjadikan manusia minus.
Di dalam pelayanan kebidanan terdapat Isu Moral. Isu Moral merupakan topik yang penting berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan orang sehari-hari menyangkut kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi kehamilan. Isu Moral juga berhubungan dengan kejadian yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari, seperti menyangkut konflik, malpraktik, perang dsb.
Adapun beberapa contoh mengenai isu moral dalam pelayanan kebidanan adalah berhubungan dengan :
1. Agama / kepercayaan
2. Hubungan dengan pasien
3. Hubungan antar petugas kesehatan
4. Kebenaran
5. Pengambilan keputusan
6. Pengambilan data
7. Kematian
8. Kerahasiaan
9. Aborsi
10. AIDS
11. In-Vitro Fertilization
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISU MORAL ABORSI
1. ABORSI
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :
1. Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2. Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi.
3. Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
1. 2. ALASAN ABORSI
Aborsi dilakukan oleh seorang wanita hamil baik yang telah menikah maupun yang belum menikah dengan berbagai alasan. Akan tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan yang non-medis (termasuk jenis aborsi buatan / sengaja)
Di Amerika, alasan-alasan dilakukannya aborsi adalah:
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir mengganggu karir, sekolah atau
tanggung jawab lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.meyakinkan diri bahwa membunuh janin yang di dalam kandungan adalah boleh dan benar. Semua alasan ini tidak mendasar, sebaliknya hanya menunjukkan ketidakpedulian seorang wanita yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri – termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu atau gengsi.
1. HUKUM DAN ABORSI
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”
Yang menerima hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
Beberapa pasal yang terkait adalah:
Pasal299
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal342
Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal343
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
Pasal346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal347
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pasal348
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal349
Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
UU Kesehatan No.23 Tahun 1992
Pasal 15:
1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan:
3. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
4. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi erta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
5. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
6. Pada sarana kesehatan tertentu.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 80:
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (92), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (liam belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. CONTOH KASUS
Terkait Kasus Aborsi di Sentosa Lama, Dr dan Bidan Ditahan Poltabes Medan
Posted in Kriminal by Redaksi on Desember 15th, 2009
Medan (SIB)
Terkait kasus dugaan melakukan aborsi di salah satu rumah yang diduga dijadikan sebagai tempat praktek aborsi di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama yang digerebek anggota Reskrim Poltabes Medan, Sabtu (12/12) lalu, dua orang telah dijadikan tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan. Kedua tersangka yakni Dr J dan Bidan M.
Kasat Reskrim Kompol Gidion Arif Setyawan SIK dan Kanit VC Poltabes Medan AKP Ronny Nicolas Sidabutar SIK saat dikonfirmasi SIB, Senin (14/12) membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan Dr J dan Bidan M sebagai tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan guna pengusutan lebih lanjut.
Untuk biaya aborsi, R dikenakan biaya Rp 2 juta oleh tersangka. Diduga, R melakukan aborsi atas kemauan dirinya sendiri.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penggerebekan itu berawal dari adanya laporan masyarakat yang menyebutkan bahwa satu rumah di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama kerap kali dijadikan tempat praktek aborsi.
Kemudian anggota Unit VC Reskrim Poltabes Medan melakukan penyelidikan di lapangan sekaligus menggerebek rumah tersebut. Dr J dan Bidan M yang diduga sebagai pelaku aborsi tersebut selanjutnya diboyong ke Mapoltabes Medan untuk diperiksa. (M16/y)
1. SOLUSI
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992, dijelaskan bahwa tindakan medis dalam bentuk apapun dan atau pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.
Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum melakukan tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum, dan psikologi.
Jadi, pada kasus aborsi di atas, pelaku (bidan) ditindak oleh kepolisian dan dijerat KUHP Bab XIX Pasal 299, 348 dan 349 serta UU Kesehatan No.23 tahun 1992 Pasal 80 ayat 1. Dan bidan tersebut dicabut ijin praktiknya. Sedangkan korban dijerat KUHP pasal 346.
B. ISU MORAL BAYI TABUNG
1. BAYI TABUNG
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.
Status bayi tabung ada 3 macam:
1. Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2. Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3. Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari.
1. DASAR HUKUM
Dasar hukum pelaksanaan bayi tabung di Indonesia adalah Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992.
1. Pasal 16 ayat 1 Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapatkan keturunan.
2. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkuta, ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum berasal.
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
3) Pada sarana kesehatan tertentu. Pelaksanaan upaya kehamilan diluar cara alami harus dilakukan sesuai norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.
1. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan dari Pasal 16 tersebut jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami istri yang sah benar-benar tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, pasangan suami istri tersebut dapat melakukan kehamilan diluar cara alami sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Pelaksanaan upaya kehamilan diluar cara alami harus dilakukan sesuai dengan norma hokum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Apabila dokter melakukan inseminasi buatan dengan donor bukan suami adalah tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara atau denda.
Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.
Status anak yang dilahirkan tidak dalam ikatan perkawinan adalah anak diluar nikah. Anak diluar nikah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu. Sedangkan anak yang lahir dari sewa rahim, terdapat 2 keadaan sebagai berikut :
1. Ovum dari pemesan, sperma dari pemesan.
2. Ovum pemesan, sperma suami.
Apabila sperma dari pemesan disebut Surrogate Mother. Setelah anak dilahirkan maka anak adalah anak sah si ibu dan suaminya. Peralihan status anak dengan adopsi.
1. CONTOH KASUS
Meski tidak memiliki suami, Nadya dengan yakin menyediakan rahimnya untuk menampung benih dari seorang lelaki. Layaknya inseminasi pada sapi, Nadya pun akhirnya berhasil melahirkan anak-anaknya. Terakhir, ia melahirkan 8 anak kembar melalui bantuan beberapa orang dokter di sebuah klinik di Amerika Serikat. Sebelumnya, ia juga sudah melahirkan 6 orang anak dengan proses yang sama.
Kini, setelah memiliki 14 anak, tanpa suami sah yang bertanggung jawab atas nafkah anak-anak itu, Nadya pun kelimpungan. Ia kini membuka situs donasi, www.thenadyasulemanfamily.com, untuk mengetuk hati para dermawan yang bersedia merogoh kocek untuk membantu biaya hidup Nadya dan pemeliharaan anak-anaknya.
Setelah merasa tidak bisa melahirkan secara normal, Nadya memulai menghubungi klinik kesuburan. Ia berkonsultasi dengan dr. Michael M. Kamrava di klinik kesuburan West Coast. Sang dokter bersedia membantunya untuk memperoleh anak dengan proses bayi tabung (in vitro fertilization). Nadya pun menyerahkan sperma dari seorang donor yang ia klaim bernama “David Salomon”. Pada tahun 2001, sekitar setahun setelah berpisah dengan sang suami, Nadya melahirkan bayi tabung pertamanya. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu ia beri nama Elijah Makai Solomon yang kini berusia tujuh tahun.
Sukses melahirkan bayi pertamanya melahirkan proses bayi tabung, Nadya pun ketagihan untuk melakukan hal itu kembali. Hampir setiap tahun, ia melahirkan anak melalui proses bayi tabung. Pada tahun 2002, ia kembali melahirkan bayi tabung berjenis kelamin perempuan yang ia beri nama Amerah Yasmeen Solomon (6 th). Setahun berikutnya, ia melahirkan bayi laki-laki yang ia namakan Joshua Jacob Solomon (5 th). Dua tahun selanjutnya, ia melahirkan Aiden Solomon (3 th), seorang bayi laki-laki. Setahun berikutnya, ia melahirkan bayi kembar dua; satu perempuan bernama Calyssa Arielle Solomon (2 th), dan satu lagi laki-laki bernama Caleb Kai Solomon (2 th).
Meski sudah memiliki enam orang anak, Nadya tak jua berpuas diri. Ia kembali membujuk dr. Kamrava untuk membantu dirinya memperoleh bayi tabung lagi. Sang dokter akhirnya mengizinkan Nadya untuk menerima enam embrio, sisa dari proses bayi tabung sebelumnya. Padahal dalam anjuran yang direkomendasikan di dunia kedokteran Amerika Serikat, embrio yang ditanamkan ke rahim seorang ibu yang berusia di bawah 35 tahun adalah maksimal dua saja. Sedangkan menurut Robert George, Profesor di Universitas Princeton dan anggota Dewan Presiden Bioetika Amerika Serikat, di Italia dan Jerman, jumlah maksimal embrio adalah tiga.
Namun yang paling spektakuler dan membuat heboh seluruh dunia adalah proses persalinan Nadya yang terakhir, tanggal 26 Januari 2009 silam. Saking repotnya, persalinan itu harus dibantu 46 tenaga medis dan melalui bedah Caesar. Perempuan yang kini pengangguran itu pun akhirnya melahirkan anak kembar delapan (octuplet) di Rumah Sakit Kaiser Permanente, Bellflower, California. Semula tim medis memprediksi jumlah bayi adalah enam sesuai jumlah embrio yang ditanamkan. Ternyata dua embrio terbelah jadi dua. Akhirnya, jumlah bayi pun menjadi delapan yang terdiri dari 2 orang perempuan, dan 6 laki-laki. Kini, foto kedelapan anak kembar Nadya terpampang luas di berbagai situs internet, menyaingi foto hot Elizabeth Wong, politikus wanita dari negeri jiran, Malaysia.
Besarnya biaya proses persalinan Nadya, membuat pihak rumah sakit harus meminta bantuan pihak lain. Diperkirakan biaya itu mencapai ratusan ribu dolar. Di satu sisi, Nadya yang pengangguran, tentu saja tidak mampu menutupi biaya tersebut. Apalagi ia sendiri masih memiliki hutang sebesar 50.000 dollar dalam bentuk pinjaman mahasiswa. Akhirnya, pihak rumah sakit pun mengajukan permohonan pembiayaan melalui, Medi-Cal, program perawatan kesehatan pemerintah bagi orang miskin.
Menurut cerita sang ibu, Angela Suleman, Nadya memang sudah terobsesi untuk memiliki anak sejak ia remaja. Obsesinya itu tersendat ketika ia mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Dokternya juga memvonis ia sulit memiliki anak secara normal karena pembuluh telur ke rahimnya tersumbat. Karena itulah, Nadya pun menjalani program bayi tabung.
Meski sebelumnya sudah memiliki anak dari proses bayi tabung, Nadya tetap saja ingin menambah anaknya lagi. Di sisi lain, Nadya yang sudah tidak lagi bekerja tentu saja merepotkan sang ibu, Angela Suleman. Saat pertama menumpang di rumah ibunya, Nadya berjanji akan membiayai urusan rumah tangganya dan berbagai tagihan. Namun janji itu tinggal janji. Nadya hanya bergantung pada bantuan biaya dari Dinas Sosial yang berbentuk kupon makanan. Karena itulah, saking stresnya atas tingkah polah sang anak, Angela sempat berkonsultasi dengan seorang psikiater. Saran sang psikiater, Nadya harus meninggalkan rumah sang ibunda. Meski demikian, sang ibunda tetap tidak tega mengusir sang anak beserta cucu-cucunya itu.
Kini, Nadya beserta ke-14 anak-anaknya tinggal di rumah keluarga di Whitter, sekitar 15 mil di sebelah timur pusat kota Los Angeles. Ia dibantu oleh sang ibu, Angela Suleman dalam merawat anak-anaknya. Salah satu anaknya yang berusia 3 tahun, menderita autis, sehingga perawatannya dibantu oleh orang lain bernama Yolanda Garcia (49).
1. SOLUSI
Kasus Nadya Suleman tak pelak memicu timbulnya kontroversi di tengah masyarakat. Betapa tidak, ia melahirkan anak melalui proses bayi tabung yang melebihi batas kewajaran. 14 orang anak! Hebatnya, Nadya sendiri tidak terikat oleh pernikahan. Ia tidak berniat menikah meski sebelumnya pernah menikah. Ia menolak saran sang ibu yang memintanya untuk menikah. Tak ayal, ia pun sempat mendapat kiriman surat-surat yang berisi ancaman pembunuhan. Khawatir akan keselamatan dirinya, ia sempat menghilang dari publik.
Menurut M. Sara Rosenthal, ahli bioetika di Universitas Kentucky College of Medicine, setiap orang yang mengajukan permohonan bayi tabung di klinik fertilitas, pasti diberitahu, ada konsensus dari setiap ahli dan spesialis yang menyatakan bahwa menanam embrio dalam jumlah banyak dianggap sebagai tindakan tidak bertanggung jawab dan tidak etis. “Ini merupakan kejadian yang memalukan dan seharusnya tidak terjadi,” tegas Rosenthal. Di sisi lain, persalinan bayi kembar dalam jumlah banyak mengandung resiko, baik bagi sang bayi maupun sang ibu. Resiko bisa berwujud pendarahan di otak sang bayi, gangguan pencernaan gangguan mental, dan cacat fisik.
Melihat sepak terjang Nadya Suleman, banyak pihak menuding ia hanya sekedar memanfaatkan anak-anaknya itu untuk kepentingan pribadinya. Sebagaimana diketahui, ia kini seorang pengangguran. Padahal ia adalah seorang terdidik dan berpendidikan tertinggi serta pernah bekerja. Dengan latar belakang pengalaman dan pendidikannya yang tinggi, besar kemungkinan ia dengan mudah memperoleh pekerjaan kembali. Tapi, ia justru memilih menganggur dan “beternak” anak. Ketika anaknya sudah lebih dari selusin, ia pun menadahkan tangan dari belas kasihan orang lain untuk membiayai perawatan anak-anaknya. Selama ini, ia memperoleh santunan 5.000 dollar yang berbentuk kupon makanan setiap bulan dari dinas sosial untuk membiayai anak-anaknya, termasuk tiga orang anaknya yang cacat. Angka itu berarti setara dengan 5 juta rupiah jika kurs 1 dollar adalah 10 ribu rupiah. Sungguh, tidak elok!
Nama dan paras Nadya Suleman menunjukkan bahwa ia bukan orang kulit putih seperti mayoritas warga Amerika Serikat. Meski namanya berbau Arab, Nadya Suleman tidak diketahui jelas agamanya. Yang jelas, ayahnya berasal dari Irak, sebuah negara Arab yang mayoritas beragama Islam. Dalam Islam sendiri, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Seorang anak harus lahir dari seorang ibu yang terikat dalam sebuah pernikahan yang sah. Kalaupun toh lahir ketika si ibu telah menjadi janda, perempuan itu telah dibuahi oleh mantan suaminya yang saat itu masih sah sebagai suaminya dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah. Tentu saja, dalam hal ini, kasus Nabi Isa (Yesus) termasuk dalam pengecualian.
Terkait dengan proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung. Hal itu karena memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan perzinaan.
Di Indonesia sendiri, belum lama ini juga sempat diramaikan tentang kasus penyewaan rahim oleh Zarima, seorang mantan artis dan atlet bulutangkis. Perempuan, yang pernah dijuluki Ratu Ekstasi karena tertangkap dalam kasus pengedaran ekstasi dalam jumlah sangat besar itu, disebutkan menyewakan rahimnya demi proses bayi tabung atas pesanan pasangan suami istri, Edi dan Nita, penguasaha kaya raya asal Surabaya. Atas “usaha” penyewaan rahimnya itu, Zarima disebutkan memperoleh imbalan uang tunai sebesar Rp 50 juta ditambah sebuah mobil Honda Stream berwarna biru. Sang bayi hasil bayi tabung itu sendiri telah lahir di RS Siloam Surabaya pada Oktober 2008 silam. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu kemudian diberi nama Yusuf. Kasus ini mencuat ke publik setelah diungkapkan oleh Ferry Juan, mantan suami Zarima, menyusul kisruh perebutan anak hasil pernikahan sirri mereka yang bernama Nikita.
Kasus bayi tabung Nadya Suleman dan begitu pula Zarima, merupakan sebuah tindakan yang mengobrak-abrik institusi pernikahan dan hubungan keluarga yang ditimbulkan oleh pernikahan. Adanya pernikahan yang sah menimbulkan hubungan keluarga yang sah antara anak, ayah, ibu, suami, istri, dan lain-lain. Namun ketika kelahiran seorang anak tidak diketahui dengan jelas orang tuanya, karena tidak ada lembaga pernikahan yang memayunginya, maka hal itu akan menyulitkan untuk menentukan status hukum anak. Padahal Islam sebagai agama yang dianut Zarima sangat memperhatikan hubungan keluarga yang jelas (nasab). Hal itu karena hubungan keluarga menentukan pula hak waris.
Sejak sukses pertama dilakukan pada tahun 1978, bayi tabung merupakan teknologi kedokteran yang bisa digunakan oleh pasangan yang sulit memperoleh keturunan. Sayang sekali, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi absen dari tata nilai dan moralitas, maka ia pun menghasilkan hal-hal yang justru berpotensi menimbulkan dehumanisasi. Salah satu buahnya adalah teknologi bayi tabung yang dilakukan terhadap Nadya Suleman. Layaknya binatang, Nadya tak memerlukan seorang suami dalam ikatan pernikahan untuk memperoleh anak. Ia ‘hanya’ memerlukan benih pejantan untuk membuahi rahimnya.
BAB III
PENUTUP
Pada makalah ini dibahas 2 isu moral yakni mengenai aborsi dan bayi tabung.
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :
1) Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2) Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi.
3) Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”.
Yang menerima hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
Isu moral yang kedua adalah mengenai bayi tabung. Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.
Status bayi tabung ada 3 macam:
a) Inseminasi buatan dengan sperma suami.
b) Inseminasi buatan dengan sperma donor.
c) Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari.
0 Response to "makalah mal praktek"
Post a Comment